PUASA WANITA HAMIl dan MENYUSUI

oleh -2,360 views
oleh
Oleh : Ustad H Aziz Fikri

Ustadz, bagaimana puasa istri saya. Sekarang lagi hamil. Sehat sih, tapi kok khawatir nanti janinnya kurang gizi”. Tanya seorang jama’ah pengajian.

Ayat alquran yang membahas tentang masalah ini tidak bisa langsung dipahami. Sifatnya masih umum. Dibarengkan dengan kasus-kasus lain. Berikut ini petunjuk Allah tentang masalah ini.

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ [البقرة/184]

Maka barang siapa di antara kamu yang sakit atau bepergian agar mengganti puasa di hari lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya agar membayar fidyah, yaitu dengan cara memberi makan orang miskin. (QS. Al Baqarah: 184)

saturealita

Ayat keringanan ini hanya menyebut tiga golongan. Orang sakit, orang yang bepergian dan orang yang berat menjalankannya. Ketiganya sifatnya juga masih umum.

Pertanyaannya masih bisa dilanjut. Sakit seperti apa yang boleh tidak puasa. Bepergian sejauh mana yang boleh mengganti di hari lain. Dan apa kriteria orang yang berat menjalankan puasa, Yuthiqunahu. Dan yang lebih khusus, apakah ibu hamil dan menyusui dapat dimasukkan kepada golongan orang yang berat menjalan puasa ?

Abu Bakar Al Jazairi dalam kitab tafsirnya Aisaru tafasir memberi penjelasan berikut ini:

أيسر التفاسير للجزائري – (ج 1 / ص 80)

المرأة الحامل أو المرضع دل قوله وعلى الذين يطيقونه أنه يجوز لهما الإِفطار مع القضاء وكذا الشيخ الكبير فإنه يفطر ولا يقضي والمريض مرضاً لا يرجى برؤه كذلك
الا أن عليهما أن يطعما عن كل يوم مسكيناً بإعطائه حفنتي طعام كما أن المرأة الحامل والمرضع إذا خافت على حملها أو طفلها أو على نفسها أن عليها أن تطعم مع كل صوم تصومه قضاء مسكيناً

Wanita hamil atau menyusui termasuk kategori orang yang berat menjalankan puasa. Maka bagi mereka boleh tidak berpuasa dengan catatan keduanya harus mengganti puasa di hari lain. Alias mengqodho puasanya. Adapun orang sepuh dan sakit yang tidak dapat diharapkan sembuh, boleh tidak puasa dan tidak wajib qadha.

Bagi keduanya agar membayar fidyah. Yaitu memberi makan satu orang miskin pada setiap satu hari yang ditinggalkan. Adapun wanita hamil dan menyusui jika ia takut atas kehamilannya atau bayinya atau khawatir atas kesehatan dirinya sendiri, maka baginya wajib mengqadha puasa juga membayar fidyah.

Jadi, ada dua kriteria wanita hamil dan menyusui. Pertama, wanita tersebut memang betul-betul merasa berat jika menjalankan puasa. Ada sejumlah wanita bila sedang hamil, susahnya luar biasa. Muntah terus menerus dari awal kehamilan sampai persalinan. Ada juga yang total bad rest. Harus istirahat total di tempat tidur. Merasa tidak punya daya dan tenaga. Meskipun hanya untuk kegiatan yang sederhana. Mencuci dan masak misalnya. Bagi wanita seperti ini maka baginya boleh tidak puasa dan cukup menggantinya di hari lain.

Kedua, wanita hamil dan menyusui yang bandel. Ia enjoy aja saat mengandung dan menyusui. Bahkan dirinya tetap bekerja seperti biasa. Tidak merasakan sesuatu yang aneh pada dirinya. Tetapi dirinya khawatir atas janin yang dikandungnya. Atau takut bayinya kurang nutrisi bila ia menyusui sambil berpuasa. Kepada wanita seperti ini. Menurut Abu Bakar Al Jazairi, dirinya boleh tidak berpuasa tetapi kena dua kewajiban. Yaitu mengganti puasa yang ditinggalkan dengan berpuasa di hari lain. Saat nanti sudah melahirkan atau setelah menyaih anaknya. Juga, dia harus membayar fidyah. Yaitu memberi makan satu orang miskin, setiap satu hari puasa yang ditinggalkan.

Ketentuan ini perlu diverfikasi secara jujur kepada masing-masing wanita yang sedang hamil dan menyusui. Sehingga pilihan hukumnya dikembalikan dari hasil verifikasi tersebut. Orang lain tidak dapat mengambil peran. Sebab yang merasakan adalah si wanita yang bersangkutan.

Bagaimana dengan nasehat dokter ?

Dokter hanya menganalisa dari hasil diagnosenya, lalu ia memberi saran. Tetapi seratus persen yang tahu berat tidaknya menjalankan puasa adalah wanita itu sendiri.

Kasus perempuan hamil di atas, termasuk kriteria wanita hamil model kedua. Ia sehat dan kuat menjalankan puasa. Hanya dirinya khawatir, janinnya kekurangan gizi. Maka ia boleh tidak puasa tetapi harus mengqodho dan membayar fidyah.

Hukum Islam sangat luwes dan fleksibel. Tidak memaksa seseorang untuk mengangkat beban yang ia tidak kuat mengangkatnya. Allah memudahkan hambanya dengan cara memberi keringanan sebuah kewajiban yang mestinya dijalankan.

Bahkan pemakaian diksi yuthiqunahu ini menarik. Kriteria, berat menjalankan puasa itu dapat dijabarkan kepada macam-macam kasus. Di setiap zaman dan tempat. Maka tafsir atas diksi ini akan terus berkembang. Karena orang berat menjalankan puasa itu bisa macam-macam sebabnya.

Boleh jadi, seandainya coblosan dilakukan di saat bulan ramadhan, para anggota KPPS boleh tidak puasa. Karena beratnya pekerjaan tersebut. Buktinya, tidak puasa saja ratusan orang meninggal.

Untung saja KPU menghitung hari dengan jeli. Coblosan dilaksanakan di luar ramadhan. Sehingga MUI tidak perlu mengeluarkan fatwa, hukum meninggalkan puasa bagi anggota KPPS. Wallahu’alambishawabi Semoga bermanfaat Aamiin.

saturealita