Hadirkan JIKE GHEBANO

by -4,478 views
Pukulan Jike Ghebano saat penampilan Kenduri Seni Rakyat Riau 2019 (Foto Siswandi)

PEKANBARU Saturealita.com- Jike, dikir, atau zikir adalah seni pertunjukan khas puji-pujian yg menggunakan teks lisan dan tulisan.

Diiringi gendang ghebano atau ghabano (gendang satu muka kulit). Tersebar di beberapa tempat di alam Melayu. Riau misalnya tersebar di wilayah budaya Inderagiri, Rokan, Pelalawan, dan Kampar.

Berikut ini jike ghebano yang lebih khas berada dikecamatan Baturijal, Kabupaten Indragiri Hulu, mempunyai khas tersendiri, karena gendangnya lebih besar dari kebanyakan group dikir yang ada di alam Melayu.

Karena kekhasannya itu pulalah seni pertunjukan ini boleh dikatakan terancam punah. Sebab pembuatannya terdapat dari pohon dengan ukuran raksasa dan pohon itu sudah punah oleh skenario makro pemerintah.

Foto Siswandi

Ghendang atau ghebano jike Baturijal ini dibuat dari pohon yang diambil dari pohon tenggelam di dasar sungai usia ratusan tahun lalu.

Jike Ghebano khas ini berada di kenegerian Baturijal, wilayah Tiga Lorong Inderagiri, tempat bertapak Kecamatan Peranap, Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau.

Bejike nama awalnya sangat mirip berzanji, kemudian dikembangkan dalam bentuk teks-teks profan seperti genre pantun dan syair.

Gendang ghebano berukuran besar mempunyai garis tengah muka atas mencapai 1 meter. Ukuran muka bawah berkisar 50-60 cm.

Sedangkan tingginya berkisar 20 cm. Gendang ghebano dengan ukuran besar-besar dimiliki oleh jike kenegerian Baturijal, Indragiri. Ukuran ghebano tidak sama besar, sehingga menghasilkan nada yang berbeda-beda dan menjadi sebuah simponi sedap didengar.

Istilah jike ini diambil dari kata zikir yakni kegiatan puja-puji kepada Allah. Beberapa tempat disebut juga dengan dike, jike ghebano atau dike walaupun berbedah untuk penamaan seni, namun pertunjukannya sama, seperti memberikan puji-pujian dengan diiringi ghebano, terkadang dilengkapi dengan gong dan ketawak.

Meskipun teks nyanyiannya tergolong sakral, namun bejike atau berzikir dilaksanakan sebagai acara hiburan seperti berhelat upacara adat serta kegiatan resmi pemerintahan khususnya Inderagiri Hulu, Provinsi Riau.

Susunan para pemain Jike Ghebano (foto Iswandi)

Jike Indragiri sendiri, setiap kelompok biasanya terdiri dari belasan hingga puluhan orang, guna untuk menjaga terpiliharanya kemerduan nyanyian, apa lagi saat mereka saling sambut-sambutan atau bersahut-sahutan suara disamping paluan rebana masing-masing.

Para pejike atau penzikir biasanya memakai pakaian Islami atau baju Melayu. Sebelum acara terlebih dahulu diawali dengan makan, kemudian diselingi dengan jedah bersama sambil duduk bersela.

Jike ghebano Baturijal sudah ada sejak turun-temurun yang tidak diketahui tahun berapa pastinya. Namun, beberapa narasumber menjelaskan bahwa jike ghebano awal sudah ada berabad-abad lalu di Daik Lingga Kepulauan Riau, kemudian dibawa ke Kerajaan Indragiri dan beberapa pesisir Pulau Sumatra lainnya.

Lalu disebarkan ke Betawi. Dari Betawi dibawa oleh pendakwah ke Semenanjung Malaya, seperti Kampung Berhala Gantang, Temerloh, Pahang dan kemudian tersebar ke daerah Pekan, Temerloh dan Lipis.

Jike ghebano dapat juga dikatakan sebagai seni kata. Dalam pertunjukan jike ghebano pada awalnya banyak memakai bahasa Arab yang memuji kebesaran Tuhan dan memuliakan Rasul. Khusus Mereka berdikir dengan panduan teks khusus yang mempunyai 14 keturunan dalam bentuk nazam, tetapi tidak memakai tanda yang sebenarnya. Pajike (seniman jike ghebano) biasanya tegak dan berjalan, namun di pesisir Pulau Sumatera, pajike lebih beradab, mereka duduk bersila membentuk lingkaran mengelilingi teks yang diletakkan di tengah-tengah di atas bantal. Mereka berjike ghebano secara bergiliran mengikuti putaran ke kiri atau ke kanan. Pada peringkat pertama berjike, ghebano yang ditepuk diletakkan di atas lantai di hadapan sila, dan pada pering-pering katkat kedua, rebana diletakkan di atas riba. Rebana ditepuk dengan menggunakan empat jari. Terdapat tiga jenis tepukan yaitu tepukan cop, tepukan tung dan jentikan.

Bejike untuk meramaikan acara yang dilakukan pada saat perayaan perkawinan, semalam suntuk. Setelah selesai makan bersama, mulai dari sekitar pukul 9 malam, sampai waktu subuh, menyelesaikan beberapa pasal atau bab dalam kitab khusus jike.

Bejike dibagi beberapa sesi atau pasal. Setiap menyelesaikan satu pasal, diadakan istirahat atau jedah dengan minum-minuman teh atau kopi dengan penganan.

Waktu jedah hanya sekitar 15 menit, digunakan rehat kopi atau teh atau minum-minuman melapangkan suara. Sedangkan jedah besar dengan makan nasi.

Ketika waktu jedah, ghebano yang besar itu ditelungkupkan sekalian dijadikan tempat meletakkan talam (nampan) tempat makanan. Bagi anak-anak jarang yang mampu bertahan tidak tidur semalaman. Tetapi anak-anak tetap ramai ditempat orang bejike, dan mendapatkan makanan kue pada waktu jedah atau makan malam dengan lauk yang Istimewa.

Bajike tidak hanya dengan suara pelan dan rendah, sebagaimana orang berdoa dan memohon kepada Tuhan, melainkan ada juga dengan suara keras dan tinggi, kadang-kadang sampai melengking.

Suara jike yang keras itu ditimpali oleh suara rebana yang juga keras, karena dipukul sekuat tenaga atau bisa juga pukulannya dihentikan atau dikosong, hanya semata-mata suara saja. Karena bajike ini merupakan suatu grup, harus seirama. Anggota grup selalu berlatih untuk memperbaiki penampilan supaya pelanggan tidak kecewa.

Suara orang bejike ini terdengar sampai jauh. Ketika malam semakin sunyi, suara orang bejike semakin jelas. Terdengarnya semakin merdu. Acara-acara ini biasanya di rumah pengantin perempuan.

Sumber : Elmustian Rahman dan Tarmizi Yusuf, Ensiklopedia Baturijal. Kerjasama Unri Press Pusat Penelitian Kebudayaan dan Kemasyarakatan Unri 2012. (***)