Dari Bintan ke Bintan

by -4,236 views
Oleh Taufik Ikram Jamil

AKHIRNYA, kawan saya Abdul Wahab, mengawali kisah ini dengan menunjukkan kenyataan bahwa pulau Bintan menjadi tempat timang-timangan Melayu klasik sampai modern. Tak puas dia hanya mengatakan bahwa dari sinilah sosok militer tangguh dengan darah sastra melimpah ruah, seperti tertuang dalam satu wadah. Tak lupa pula tentang tempat penulisan “Hikayat Hang Tuah” yang gemilang, tentu saja asal-usul Hang Tuah, yang serba dalam tarik-menarik dari satu kesan ke kesan lain.

Singkat cerita, Bintan umpama sampiran dalam pantun yang brilian. Cobalah, tulis Wahab melalui pesan pendek jasa komunikasi kepada saya,
sedikit berkilas balik melalui pertanyaan pasal apa Sang Sapurba dan Demang Lebar Daun, memilih Bintan sebagai perhentian suatu ekspedisi
setelah Sriwijaya yang didirikan dari Muara Takus, memudar di Palembang pada abad ke-14. Beberapa kawasan telah mereka lewati untuk memenuhi
keinginan Sang Sapurba bergelar Tribuana untuk melihat laut. Cuma waktu itu, Bintan sudah menjadi pusat suatu pemerintahan, dipimpin seorang janda Sukandar Syah, setelah suaminya meninggal dunia. Perempuan ini memiliki seorang anak gadis cantik jelita, hasil perkawinannya dengan sang raja, bernama Wan Seri Bini yang kemudian dinikahkan dengan anak Sang Sapurba, Nila Utama. (Ahmat Adam, “Sulalatu’s-Salatin”, 2016). Dari Bintan, Sang Sapurba dan Demang Lebar Daun yang juga dikenal memiliki hubungan karena perkawinan yakni menantu-mertua, menelusuri Sungai Inderagiri/ Kuantan. Mereka mengangkat raja Pagaruyung, sementara Nila Utama menemukan sebuah puau berpasir putih yang disebut ujung tanah atau Tumasik. Gabungan rombongan Sang Sapurba
dan Nila Utama di Bintan, kelak subur di tanah Semenanjung; membangun Tumasik yang kemudian dikenal dengan Singapura, kemudian juga perkasa di dada Melaka. Dialahkan Portugis 1512, Bintan kembali menjadi tumpuan Kemaharajaan Melayu sebelum akhirnya terdesak ke Kampar. Tapi tak lama kemudian, Bintan telah memegang peranan dengan perwujudan Johor – Riau atau Riau – Johor pada abad ke-16, lalu cukup paham pula dengan kehadiran

Siak 1723. Dari Bintan juga Belanda diusir sampai ke Melaka dalam perang laut 1782-1784. Dalam sejarah baru, Bintan tak kurang menampilkan sampiran. Tanjungpinang di pulau ini menjadi ibu kota Provinsi Riau 1958, kemudian harus berpuas hati menjadi ibukota kabupaten Kepulauan Riau setelah ibu kota Riau dipindahkan ke Pekanbaru tahun 1960 (Mukhtar Lutfi, “Sejarah Riau”, 1977).Tapi ibu kota provinsi kembali berada di pundak Tanjungpinang di pulau Bintan setelah kabupaten Kepulauan Riau menjadi
provinsi, berpisah dengan Riau tahun 2002.

DALAM posisi semacam itu Bintan tak cukup menjadi tapak kejayaan sekaligus keruntuhan, tetapi juga mempersembahkan anak-anak watan yang menjulang. Hang Tuah asal Bintan, dijemput dengan kekerasan untuk menemui ajalnya saat dia sedang liburan bersama keluarga di hulu sungai
Melaka, tanpa usul periksa meski ia sudah berjasa besar untuk kerajaan. Hang Jebat, kawan seperjuangannya sejak dari Bintan, menggantikan posisi Hang Tuah sebagai Laksamana. Duh, justeru panggung cerita memposisikan keduanya saling tikam untuk menuju kematian masing-masing (Kassim Ahmad, “Hikayat Hang Tuah”, 1997).
Saya seperti juga Wahab berhari-hari tak dapat melupakan pesan Jebat kepada Tuah saat sakratulmaut sebagaimana dikisahkan dalam “Hikayat
Hang Tuah”. Dia mengaku begitu banyak berhubungan dengan perempuan tapi hanya dengan seorang dayang, Dang Baru, memiliki makna khusus.
Perempuan itu sedang mengandung tujuh bulan, hasil hubungan badan dengannya. Jebat minta tolong Tuah memelihara anak itu kelak jadikan askar yang mengawal Hang Tuah, kalau anak itu lelaki. “Adapun diperhamba bermukah dengan Dang Baru, dayang-dayang Datuk Bendahara, maka sekarang ia bunting tujuh bulan. Jika ia beranak laki-laki, ambil oleh orang kaya peliharaan jadikan hamba, mana perintah orang kaya. Itulah pesan diperhamba.” Maka Laksamana pun berkata,“Baiklah, insya Allah Taala, anak saudaraku itu anaklah kepada hamba (ibid). Setelah Jebat terbunuh, tiga hari Hang Tuah tidak keluar rumah yang tak dapat ditegur oleh sesiapa pun termasuk oleh Sultan Melaka. Tak diperoleh informasi, bagaimana sikap Hang Tuah, ketika jasad Hang Jebat digantung di pinggir jalan berhari-hari. Pun sikap kawan-kawan lain termasuk Hang Lekir, Hang Lekiu, dan Hang Kasturi. Barangkali seperti dikatakan Hang Tuah, kesalahan Jebat terlalu besar yakni makar dan membunuh ribuan orang yang tak berdosa. Duh .. Di sisi lain, Jebat dapat ditikam Tuah, ketika kerisnya terpacak di dindng. Tindakan tesebut sempat dicibir oleh Jebat sebagai bukan tindakan kesatria karena ia ditikam dalam keadaan bertangan kosong, sedangkan senjatanya dalam suatu pergelutan tertancap ke dinding. Hal serupa sebelumnya dialami Hang Tuah, tetapi Hang Jebat justeru mencabut keris tersebut dan menyerahkannya kepada Tuah. Mendengar hal itu, dilatar belakangi kesalahan Jebat, Tuah dengan lantang berujar, “Siapa yang hendak bersetia denganmu.” (A.Samad Ahmad, Sulalatus Salatin versi pelajar, 2006). Apakah sikap Tuah itu merupakan jelmaan dari pernyataan Melayu terhadap penguasa, entahlah. Tapi sebelum memasuki Bintan, kepada
Demang Lebar Daun, Sang Sapurba mengatakan, Melayu janganlah mendurhaka. Pernyataan ini menjawab permintaan Demang Lebar Daun
bahwa Melayu tentu saja bisa dihukum malah dibunuh sekalipun, tetapi janganlah dia dinista seperti dikata-katai apalagi memamerkan jasadnya sebagai bangkai selama berhari-hari.

CUMA kepergian Hang Tuah diam-diam pada kemudian hari, bisa saja dimaknai sebagai protesnya berkaitan dengan perlakuan terhadap jasad
Hang Jebat tadi yakni penistaan. Tapi tetap saja bernilai sebagai sampiran sebuah pantun yang memberi makna pembayang, apalagi dihadapkan dengan ungkapan Melayu yang lain, “Raja alim raja disembah, raja zalim raja disanggah.” Sudahlah, nyatanya Jebat tak punya pengikut. Bangsa dan negara harus ditegakkan dengan cara apa pun yang mungkin menjiwai seorang laksamana baru, Hang Nadim, awal abad ke-16. Dari Bintan pula, ia mengatur serangan kepada Portugis di Melaka bersama sumber-sumber
kekuatan Melayu di semerata tempat di antaranya dari Gasib Siak 1512 dan Inderagiri 1516 dan 1520. Sebaliknya, Bintan juga muncul dalam pertimbangan khusus manakala putranya yang lain yakni Megat Sri Rama membunuh Sultan Mahmud di
Johor tahun 1699. Bergelar Laksamana, sultan sedikit pun tida mempertimbangkan jasa-jasa Megat yang luar biasa sebelumnya. Isteri
Megat dibunuh dengan cara dibelah perutnya, justeru saat Megat melaksanakan tugas negara yakni menghancurkan bajak laut di Selat Melaka dengan hasil gemilang. Tak sedikit pun Sultan Mahmud memaafkan isteri Megat yang mengambil seulas nangka dari buah-buahan santapan penguasa itu. Padahal sudah dijelaskan, perempuan tersebut sedang mengidam karena mengandung anak dari bibit Megat Sri Rama. Lalu, kemenangan yang dibopong Megat, harus bersambut dengan berita mahaduka. Megat masih memperlihatkan akhlak mulia saat membunuh Sultan Mahmud. Ia minta sultan dijulang sebagai hadiah keberhasilannya membasmi bajak laut. Padahal Megat sangat paham, justeru saat kaki Sultan tidak jejak ke bumi ketika dijulang itu, kesaktian pejabat nomor satu Johor tersebut hilang dan Megat dengan leluasa menancapkan keris ke jantungnya. Malahan Megat sempat berujar, “Maaf, patik mendurka.” (Rida K Liamsi, Megat, 2016).

“ADA yang mengatakan, Megat kembali ke Bintan setelah peristiwa tersebut. Beberapa tahun kemudian, baru dia meninggal,” balas saya
kepada Wahab, juga melalui pesan pendek. Saya menambahkan, barangkali Datuk Bendahara yang mengambil alih tampuk pemerintahan karena menyangka sultan tidak berketurunan, tak kuasa mengurus Megat karena dia tahu orang itu tak akan macam-macam setelah meluahkan puncak kekesalannya. Tentu tak sekedar memutarkan ungkapan Melayu mendurhaka 180 derjat, tapi tindakan Megat membuat diskursus baru dalam politik Melayu. Sederhananya dapat disebutkan bahwa ternyata gelar raja sebagai zilullah fil-ard yakni raja sebagai bayang-bayang Allah di bumi, dipatahkan karena raja bisa dilawan dan dikalahkan. Untuk diingat saja, peristiwa ini sebagai kejadian pertama mengenai pemberontakan dalam alam Melayu jika kisah Hang Jebat seperti juga Hang Tuah dianggap sebagai sebuah fiksi. Di sisi lain, kejadian itu pulalah yang memunculkan Raja Kecik. Mengaku sebagai anak Sultan yang dibunuh Megat, Raja Kecik merebut kekuasaan dari tangan Datuk Bendahara. Berkali-kali ia menjadikan Bintan sebagai basis perjuangan untuk kembali membangun Johor, 1717-1722, (Leoanard Y. Andaya, “Kerajaan Johor 1651-1728”, 1987). Meskipun kemudian
terpaksa meninggalkan Johor – Riau, kemudian fokus membangun Siak, tak dapat dipungkiri bahwa kejayaannya banyak terinspirasi dari dinamika Bintan pada awal abad ke-18. Meskipun tetap berusaha merebut Johor – Riau, Raje Kecik dan keturunannya berusaha mendominasi Selat Melaka yang Johor dan Riau berada di dalamnya. Tekad dari Bintan ini kemudian terbukti dengan kemunculan Siak mendominasi perdagangan di Melaka. Sebagai contoh, jumlah nakhoda, kapal, impor-ekspor di Melaka, didominasi oleh Siak (Ahmad Jelani Halimi, “Perkapalan dan Perdagangan Melayu” 2006). Pada abad ke-19, Sak mencapai suatu kesejahteraan yang sesungguhnya (Timothy P. Barnard, “Pusat Kekuasaan Ganda”, 2003).

DALAM konteks di atas pulalah, mana mungkin melupakan Raja Haji Fisabilillah. Justeru dari Bintan ini pulalah ia memimpin perang Riau 1782-1784. Berhasil mengusir blokade Belanda di Bintan, tak kurang sejarawan Prof Dr Taufik Abdullah menyebutkannya sebagai kemenangan Asia Tenggara terhadap satu dari armada laut terkuat di dunia (Seminar Sejarah Kepahlawanan Raja Haji Fisabilillah, 26-28 Mei 1988 di Tanjungpinang). Ironisnya, jasad Raja Haji tidak dapat dibawa kembali ke Bintan setelah syahid di Melaka 1784. Baru 30 tahun kemudian, jenazahnya dapat dibawa kembali ke Riau bukan ke Bintan, tetapi ke Penyengat. Menyusul makin mengecilnya kekuasaan Riau, apalagi setelah Traktat London 1824, sehingga Lingga menjadi tumpuan, Bintan tak kehilangan pengaruh. Belanda menjadikannya sebagai pusat kontrol di wilayah ini dalam fungsinya sebagai tempat berkedudukan Residen Riau akhir abad ke-18. Selat Setemu menjadi saksi, betapa naskah-naskah budaya seberang-menyeberang antara Bintan dengan Penyengat, bilkhusus lagi antara Raja Ali Haji dan H. Ibrahim dengan asisten residen Van de Wall. Begitulah kita diberi tahu bagaimana wujudnya Bustan al-Katibin dari tangan Raja Ali Haji dan Pantun-pantun Melayu dari H.Ibrahim misalnya, tak terlepas dalam hubungan persahabatan Bintan-Penyengat itu (Jan van de Putten dan Al-Azhar, “Di Dalam Perkekalan Persahabatan”, 1995) Tanjungpinang di Bintan terus mekar sebagai kota modern, meskipun eksodus besar-besaran dilakukan terutama dari Penyengat sejak 1911. Tak sampai setengah abad kemudian, kota ini menerima takdirnya sebagai pusat provinsi Riau 1958, meskipun kemudian dipindahkan ke Pekanbaru tahun 1960. Posisi serupa, diemban kota ini, manakala Kabupaten Kepulauan Riau dimekarkan menjadi provinsi, terlepas dari Riau tahun 2002. Tak ada sedikit pun perdebatan menentukan ibu kota provinsi yang baru itu meskipun Batam menggelinjang melalui tangan-tangan khusus, jauh dari apa yang dibayangkan.

BETUL, kawan saya Abdul Wahab telah menyebut sejumlah laksamana dari Bintan, selain berbagai peristiwa menentukan dalam peradaban Melayu klasik dan modern. Lalu, dalam ingatan saya timbul suatu kesan bahwa berkaitan dengan hal itu pula, muncul anggapan bahwa tokoh-tokoh tersebut tidak saja memposisikan militer sebagai kekuatan otot, tetapi juga rasa. Malah, seorang yang bernama Jebat sebagaimana diungkapkan di atas, ternyata juga seorang penyair. Daya sastra Jebat pun tidak pula alang-kepalang. Dalam “Hikayat Hang Tuah” (A.Kasim Ahmad, penyir 1997) dilukiskan bagaimana ketika Sultan
sedang di puncak galau, ia justeru meminta Jebat membaca hikayat. Sebegitu hebatnya Jebat bertutur, dapat membuat penguasa itu tertidur di pangkuannya. Jebat malah sempat menuturkan pantun sebelum terkulai di sisi Hang Tuah, “Rosak bawang titimpa jambaknya” (Kassim Ahmad, “Hikayat Hang Tuah”, 1997). Soal hikayat dan pantun itu memang dapat didiskusikan yang in syaa Allah, akan berujung pada suatu kesepakatan baru. Akan terlihat misalnya bahwa hikayat yang dimaksudkan dalam karya ini berbentuk pantun, sedangkan pantun itu sendiri bisa bermakna kepada sifat, bukan bentuk. Oleh karena sifat, sampiran bisa hanya berbentuk satu baris asal memenuhi syarat sebagai pembayang. Dalam hubungan Jebat ini pulalah ditemui semacam kredo bahwa sastra akan lebih menusuk jika dilisankan secara baik. Hal ini sejalan dengan apa yang ditulis Raja Ali Haji kepada Van de Wall bahwa syair akan menjadi
lebih indah jika dilagukan dengan baik oleh pemilik suara yang baik pula (Jan van de Putten dan Al azhar, “Di Dalam Perkekalan Persahabatan”, 1995). Walhasil, tak kurang dari 25 gaya ditemukan dalam membaca syair di kawasan Melayu Riau dan Kepulauan Riau (LAMR, “Bengkel Pantun”, Dalam hikayat itu pula digambarkan bagaimana seorang Sultan mengapresiasi sastra. Ia sampai tertidur di paha penyair, lalu kemudian memuliakan penyair tersebut dengan berbagai hadiah. Suatu gambaran
bahwa pemuliaan tidak saja berbentuk fisik, tetapi juga psikhis. Wahab membenarkan ketika saya menulis, “Sayang ya, begitu banyak kajian mengenai “Hikayat Hang Tuah” ditulis, tapi belum ada berkaitan dengan militer sebagai makhluk sastra yang justeru terdapat dalam karya ini. Bukan saja naskah ditinjau dari segi sastra sampai A.Teeuw menyimpulkan bahwa “Hikayat Hang Tuah” sebagai karya prosa Melayu yang belum ada tandingannya.” Sampai di situ, saya sendiri saja terkejut dengan lintasan pikiran yang menggarisbawahi bahwa jangan-jangan “Hikayat Hang Tuah” ditulis di Bintan. Sebab dalam naskah ini, Hang Tuah dinyatakan tegas-tegas berasal dari pulau tersebut yang berkiprah di Melaka. Dalam naskah lain,
misalnya dalam “Sulalatus Salatin” yang menjadi pijakan dasar pensejarahan Melayu, tidak disebutkan demikian–tentu saja dalam konteks ini, informasi tersebut bisa saja diabaikan.

BEGITU banyak kenangan bersama Bintan yang rasanya hampir tak terlupakan. Nama-nama laksamana dari Bintan masih bertebar sampai kini, dikukuhkan dari nama jalan samai perguruan tinggi, termasuk nama jabatan semacam panglima dan laksamana itu sendiri. Demikian pulalah, menyebut sejarah Melayu klasik dengan berbagai dinamikanya, seperti bertitik tolak dari Bintan, kemudian terkesan sebagai dari Bintan ke Bintan. Rasanya, tidak ada kota dari sebuah pulau seluas 60 Km per segi, dibadikan dalam begitu banyak lagi rakyat dan populer. Misalnya, tentang Tanjung Pinang, kota terbesar di pulau Bintan itu, Cukuplah dikatakan bagaimana tiga penyanyi ternama Indonesia dan seorang penyanyi terkenal dari Malaysia memuja kota tersebut, tahun 70-an. Melalui lagunya Dua Malam di Tanjungpinang, Vivi Sumanti memelas, “Kini aku telah kembali ke tempat ayah bunda berada Sayang kita tidak berjanji Bertemu pula”. Lain lagi dengan Ida Royani yang lantang berujar dalam lagunya Tanjungpinang Kau Kujelang, “Ke Tanjungpinang Engkau pasti kujelang. Sebab, di kota ini ia tak menyangka bertemu dengan seseorang yang memikat sukma, sederhana manis budi bahasanya. Sedangkan Titik Puspa (Indonesia) seperti juga Zaleha Hamid (Malaysia) yang lirik dan irama lagu mereka hampir serupa, entah siapa yang dulu, menandai Tanjungpinang dengan keramahan handai-taulan. Juga, dalam lagu yang berjudul Sepekan di Tanjungpinang itu disebutkan, “Pemandangan indah/ Lautan biru membentang/ Berhiaskan pantai ombak pun sepoi/ Amboi…” Maka wajarlah, jika violis tempatan, Daud Kadir melagukan;
Pulau Bintan alai sayang lautnya biru Pulau Penyengat alai adik jelas melintang Hatiku dendam bertambah rindu Makin diingat makin disayang. (***)