Andi Wijaya : Tidak Ada Indikasi lain Bongku Bebas Murni Asimilasi dan kondisi Covid-19

by -1,298 views
Ket foto : Bongku

PEKANBARU, Saturealita.com-Koalisi Masyarakat Adat untuk Hutan dan Tanah memberikan keterangan terkait pembebasan Bongku oleh Lapas kelas II Bengkalis.

Bongku Bin Jelodan dinyatakan bebas pada 10 Juni 2020 melaui asimilasi sesuai dengan Permenkumham Nomor 10 tahun 2020, tentang syarat pemberian asimilasi dalam pencegahan dan penanggulangan penyebaran Covid-19 serta Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Nomor M.HH-19.PK.0104.04 tahun 2020 tentang pengeluaran dan pembebasan melalui asimilasi dalam rangka pencegahan dan penanggulangan penyebaran Covid-19.

Sebelumnya pada 18 Mei 2020, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bengkalis menghukum Bongku satu tahun penjara dengan denda sebesar Rp 200 juta karena menebang akasia-ekaliptus seluas setengah hektar di dalam konsesi PT Arara Abadi.

Paska putusan Bongku bersama Penasihat Hukum (PH) langsung melakukan upaya banding pada 22 Mei 2020, namun pada 5 Juni 2020, Bongku mencabut dan tidak melanjutkan banding.

Alasan Bongku tidak melanjutkan banding dikarenakan rindu pada istri, anak dan keluarga lainnya. Koalisi mengapresiasi atas pilihan tersebut.

Menurut Andi Wijaya Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru dari awal mendampingi pembebasan sesuai Permenkumham dan Kemenkumham

“Bongku bebas murni asimilasi dan kondisi Covid-19 di Indonesia, bukan ada indikasi lain,” kata Andi Wijaya sembari menjelaskan Bongku akan menjalani sisa tahanan luar hingga bulan November 2020 mendatang.

Koalisi menyebutkan selain Suku Sakai, masih ada masyarakat adat Riau sampai saat ini tidak bisa mengelola tanah ulayat untuk berladang maupun menjaga hutan. Mereka masih berjuang untuk mendapatkan hak dengan kondisi krisis pangan dan air bersih.

Sejalan dengan itu, Jikalahari dan Walhi Provinsi Riau melihat pembebasan Bongku masih menyisakan konflik agraria dan tenurial terhadap masyarakat adat di Riau.

“Pengakuan terhadap wilayah masyarakat adat Riau tidak jelas, bahkan, menjadi potensi kriminalisasi terhadap mereka saat mengelola ladang untuk bertahan hidup,” kata, Made Ali, Koordinator Jikalahari.

Made menambahkan Asia Pulp and Paper (APP) melalui salah satu anak perusahaannya PT Arara Abadi telah membohongi masyarakat adat dan melecehkan hukum Indonesia.

Yang dilakukan PT Arara Abadi bertentangan dengan kebijakan FCP APP, pada komitmen 3 menyatakan keterlibatan sosial dan masyarakat.

Untuk menghindari maupun menyelesaikan konflik sosial seluruh rantai pasokannya, APP akan secara aktif meminta dan mengikutsertakan saran dan masukan berbagai pemangku kepentingan termasuk masyarakat sipil, dalam menerapkan prinsip-prinsip sebagai berikut, tiga diantaranya yaitu: FPIC dari masyarakat asli dan komunitas lokal, penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kepatuhan terhadap hukum, prinsip dan kriteria sertifikat bertaraf internasional yang relevan.

Direktur Walhi Riau, Riko Kurniawan menyebutkan terkait pembebasan Bongku bukan karena kebaikan jaksa, hakim dan PT Arara Abadi. “Pak Bongku bebas sudah sesusuai dengan aturan bukan karena kabaikan siapapun,” ucap Riko Kurniawan, sembari berkata hanya bebas dalam proses hukumnya, tapi belum bebas dalam mengelola ladangn sendiri diatas tanah ulayat masyarakat adat Sakai.

Konflik antara PT Arara Abadi dan masyarakat Adat Suku Sakai sudah lama terjadi karena izin PT Arara Abadi terbit di atas tanah peladangan yang sudah lama dioleh oleh masyarakat Suku Sakai.

Pada 2016 Pansus Monitoring dan Identifikasi Sengketa Lahan Kehutanan dan Perkebunan di kabupaten Bengkalis.

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kabupaten Bengkalis menyatakan bahwa di Kecamatan Mandau dan Pinggir terjadi sengketa lahan, di 5 desa, yakni desa Tasik Serai Timur, Melibur, Tasik Serai, Beringin dan Serai Wangi dengan PT Arara Abadi dan PT RAL.

Pansus merekomendasikan meminta pemerintah Pemerintahan kabupaten Bengkalis untuk mencabut atau sekurang-kurangnya meninjau SK Menhut RI izin PT Arara Abadi seluas 44.138 hektat serta meninggalkan tanah adat milik masyarakat persukuan sakai, saat ini ditanami bongku, sebesar 7.500 ha di Kecamatan Pinggir. Namun hingga kini belum ada kejelasan dari rekomendasi Pansus.

“Jika tidak ada jaminan secara legalitas hukum dimasa depan terhadap hak wilayah masyarakat adat, konflik tanah antara sakai dan PT Arara Abadi dipastikan akan muncul kasus bongku-bongku yang baru”, beber Riko

Hasil analisis Jikalahari, bukan hanya Bongku yang melakukan kegiatan dan tinggal di dalam konsesi PT Arara Abadi. Ada ribuan masyarakat yang sudah hidup disana sebelum PT Arara Abadi mendapatkan izin, bahkan mereka sudah ada sebelum Indonesia Merdeka. “Lahan mereka telah dirampas, tinggal di rumah yang berlantai tanah, dinding dan atap bolong-bolong”, jelas Made

Menurut data BPS 2015 yang dioverlay dengan izin PT Arara Abadi masuk dalam 18 Desa di Kabupaten Siak dan Bengkalis yaitu Desa Harapan Baru, Talang Mandi, Beringin, Melibur, Muara Basung, Semunai, Tasik Serai, Tasik Serai Timur, Titian Antui, Belutu, Pancing Bekulo, Tumang, Becah Umbai, Lubuk Jering, Lubuk Umbut, Muara Bungkal, Olak dan Tasik Betung.

Sejak kasus Bongku disidangkan, dukungan terus mengalir. Mulai dari Akademisi, Kelompok Masyarakat Sipil, Mahasiswa dan Masyarakat Suku Sakai sendiri. Banyaknya dukungan untuk Bongku menimbulkan keresahan terhadap orang-orang menginginkan Bongku untuk tetap dihukum.

Pada tanggal 19 dan 20 Mei muncul ancaman dan tenakanan melalui pesan Whatsapp terhadap mahasiswa yang melakukan aksi solidaritas terhadap Bongku, dalam pesan tersebut pelaku meminta agar tidak ikut menyuarakan kasus Bongku.

Selain itu mereka juga mendapat pasan ancaman pembunuhan pada 9 Juni. Untuk itu Koalisi mendesak Polda Riau memberikan perlindungan terhadap pendukung yang telah mendampingi Bongku dalam proses persidangan.

Koalisi Masyarakat Adat untuk Hutan dan Tanah Walhi Nasional Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Jikalahari dan Walhi Riau, Lembaga Bantuan Hukum Pekanbaru Senarai Koalisi Pembela Hak Masarakat Adat. (***/rilis)