Catatan Festival Seni Taman Budaya 2020

by -1,869 views
Aziz Fikri,SSn.,MSi

Oleh Aziz Fikri,SSn.,MSi

Catatan Festival Seni Taman Budaya 2020 dengan Tema Seni Lawan Pandemi di Gedung Olah Seni (GOS) Ediruslan Pe Amanriza 21-22 November 2020.

Diikuti sebanyak 9 peserta atau grup Teater, meliputi, Teater Tengku Mahratu, judul karya Merayau 2. Teater Matan, judul karya Ala Bisa Karena Biasa 3. Rengat Teater 913 judul karya Teratai Putri Seroja 4. Teater Taksu judul karya Di Pulau Secaran 5.
Komunitas Seni Jejak Langkah judul karya Sampah Rahim 6. Seni Sagara Unilak judul karya Ungkai 7. Belacan Art Community judul karya Pinangan 8. Suku Seni Riau judul karya Siapah Engkau Corona 9. UKM Batra UnRi judul karya Revolusi Musim.

Festival seni merupakan salah satu upaya pembinaan dan pengembangan seni, dalam hal ini Seni Teater dengan Tema Seni Lawan Pandemi. Artinya berkarya Seni berjalan terus, tetap kreatif tanpa harus terpengaruh oleh wabah pandemi. Semangat ini patut mendapat apresiasi bagi teman teman seniman yang hendak mengeskpresikan melalui karya karya kreatifnya.

Menonton Pergelaran atau Festival Teater selama 2 hari, menarik untuk diapresiasi, dinikmati bahkan diambil pelajaran berharga yang tergambar pada lakon lakon yang diperankan oleh para pemain, aktor dan aktrisnya itu sendiri.

Teater dapat pula diartikankan sebagai suatu Gedung pertunjukan, pekerja bagi pemain, maupun kru panggung. Esensi kejadian atau perstiwa. Selain itu ada yang mengartikan Teater sebagai segala macam bentuk tontonan yang dipertunjukkan di panggung atau di luar panggung. Kisah hidup dan kehidupan manusia ini termasuk pada kegiatan berlaku dan berbuat beraksi adalah suatu rangkaian dari arti harafiah teater.

Merujuk hal inilah idiom kata Dunia adalah panggung sandiwara cukup merefleksikan bahwa teater itu ada pada manusia dan kebudayaannya dan kesehariannya adalah sedang dalam berteater.

Penampilan hari pertama 21 November 2020 pukul 20.00 22.00 wib dengan nomor undian 01. Teater Tengku Mahratu judul Merayau sutradara Suci Dwi Kartini 02. Tater Matan judul karya Ala Bisa Karena Biasa sutradara Ricky Pranata. Kedua grup teater tersebut sama-sama ingin menyampaikan pesan secara verbal atau jelas tentang Pandemi Covid 19 dengan teknik penyutradaraan yang berbeda.

Keterangan gambar : Adegan dalam pementasan Teater Merayau

Merayau mengisahkan sekelompok tokoh Berjalan, melakukan perjalanan ke Pasar mencari informasi akan keadaan halmana situasi sehabis perang dan adanya wabah corona melanda dinegeri sebelah. Pertunjukan ini bermaksud mengusung persoalan kekinian yang sedang melanda dunia saat ini yakni: Pandemi covid 19 bentuk penyajian cenderung Drama Tragedi. Peristiwa akibat perang, peristiwa pembunuhan masal karena sebuah kepentingan tertentu, wabah penyakit yang berkepanjangan adalah merupakan represenatasi tokoh tokoh yang dialami pada Merayau hingga berakhir mati karenanya. Sebagaimana layaknya drama tragedy, Merayau menggunakan bahasa, dialek bahasa yang berhias sebagai ornamen nilai seni bahasanya. Bahasa berirama, bersyair, berpantun dan bahasa yang menyenangkan (dapat dilihat pada akting para pemainnya).

Sinopsis sebagai berikut; merayau merupakan suatu kebiasaan bagi pekerja yang bertugas di dapur istana apabila ada bahan makanan yang kurang di gudang makanan mereka akan pergi ke pekan untuk mencarinya. Mak cik Siti yang terbiasa berbelanja mengajak serta Wak Jamal untuk pertama kalinya ke pekan. Pekan tersebut dahulunya ramai orang berdagang dan membeli, sekarang pekan tersebut sungguh lengang sebab perang baru saja melanda wilayah itu, di tambah lagi dengan kabar bahwa ada sebuah penyakit yang mewabah di negeri seberang. Di pekan tersebut hanya ada wanita yang berdagang tersebab suami mereka gugur dalam perang.lantas bagaimana perjalanan Mak Siti dan Wak Jamal, siapa dan peristiwa apa saja yang mereka temui.

Naskah lakon Merayau merupakan karya bersama, hasil dari diskusi bersama yang lebih menyadarkan daya ungkap dan daya tariknya pada cerita, cerita dramatis yang mengandung konflik diri dengan lingkungan, dialog dialog yang mudah difahami oleh masyarakat lingkungannya dan kental dengan ungkapan bahasa Melayu harian. Pertunjukan Merayau bersifat sederhana baik bentuk maupun teknis penyajiannya. Spontan, tidak dibuat buat, seperti tidak terikat dengan naskah dan komunikatif dengan penonton. Sutradara tampaknya memberikan kebebasan kepada para pemain. Hal ini dapat dicermati pada pola lantai, komposisi bloking pemain serta gesture sederhana.

Setting tempat peristiwa teater Merayau ini adalah di Pekan dari adegan awal sampai akhir, artinya setting tempat tidak berubah-ubah. Sesungguhnya ini sangat memudahkan bagi penata pentas untuk mendesain penataan ruang adegan dengan tuntunan setting dan furniure realistik supaya pentas tampak seperti di dalam kehidupan yang sebenarnya. Misalnya dengan penataan bangku bangku, meja-meja untuk meletakkan berbagai macam barang dagangan, timbangan, kantong-kantong atau pembungkus atau bisa saja setting ini realis sugestif. Seperti yang penonton lihat diatas pentas, hanya ada level atau trap dan keranjang kotak kayu yang biasa untuk tempat dagangan buah serta sedikit daun-daun atau sayuran.

Desain penataan pentas dewasa ini wilayah kreatifnya semakin luas, mulai dari setting realisme hingga setting yang teatrikalisme. Pentas realisme memperlakukan pentas seolah-olah bukan sebuah pementasan melainkan kenyataan sebenarnya, termasuk di dalanya keberadaan ruang keluarga, beranda depan, trotoar jalan, restoran atau pasar tradisional

Keterangan Gambar : Adegan dalam pentas Teater Merayau

Sebagai karya seni pertunjukan, informasi visual setting cerita Pekan ini amatlah minim. Boleh saja penggunaan setting minimalis, atau menggunakan setting non realis, seperti yang terlihat dalam salah satu adegan Merayau, Namun demikian setting haruslah tergambar secara kongkrit dengan elemen elemen panggung yang mendukung suasana Pekan sehabis perang. Misalnya, Bangku bangku rusak, puing puing berserakan. Kalau hanya beberapa level/trap dan kotak keranjang, maka set dekorasi semacam ini belumlah dapat memberikan gambaran bagaimana atmosfire Pekan/Pasar sehabis dilanda peperangan.

Gagasan pada penyutradaraan lakon ini tidaklah terbatas pada isu cerita kekinian, dengan bentuk bentuk baru, melainkan juga tafsir teknis bentuk dan gaya pemanggungan serta pendalaman karakter tokoh dalam lakon ini. Bagaimana para tokoh merasakan secara psikis kepahitan akibat perang, wabah penyakit yang mengancam jiwa, ini wilayah kerja kreatif penyutradaraan. Tugas sutradara mencipta atas urusan teknis panggung atas segala kemungkinannya, ia mengarahkan langsung kepada pemain sekaligus merasakan pergolakan karakter tokoh yang diperankan aktor. Selanjutnya sutradara menyatukan keseluruhan elemen kerja hingga akhir kinerjanya.
Konon panggung pertunjukan identik dengan pemain (aktor/aktris, singer, dancer), jika pemainnya bagus, popular, maka pertunjukanpun terkenal. Tak cukup ketika aktor mengucapkan dialog: Akulah Panglima tetapi aktorpun harus menyerupai Panglima, baik bentuk fisik atau tubuh, kostum yang dipakai, detail realis maupun abstrak peranginya. Pada awalnya penonton akan menerima apa yang dilihat diatas pangggung. Ketika penonton menyimak cerita dan tokoh yang dikenal dalam imaji idealnya, maka ia berusaha untuk menyamakan apa yang ada diatas panggung. Ketika persamaan pengetahuan itu mirip dengan apa yang dilihat diatas panggung, penonton segera mengenyampingkan artifisel seni. Namun jika usaha penyamaan itu tak kunjung hadir yakni ketika aktor tidak mampu menyerupai tokoh, maka terjadi keterputusan komunikasi anatara realitas panggung dan penonton.

Tokoh Mak Cik Siti dan Wak Jamal mewakili masyarakat kelas bawah ( pekerja dapur istana ) dengan kostum aksen melayu harian, dengan pola dan gaya akting alami dan realis, tidak teatrikal. Sayangnya, tokoh ini taksetia pada gaya aktingnya, sehingga karakter takterjaga dengan baik, atmosfir kurang terbangun, dinamika cerita menjadi datar. Sutradara dapat mengarahkan para pemainnya melaui pendekatan akting representasi atau presentasi. Misalnya, analisis karakter tokoh seorang pekerja dapur istana secara detail, baik secara fisiologis, sosiologis maupun psikologis. Sehingga pemain mempunyai gambaran jelas tentang sosok tokoh yang hendak diperankan. Apalagi karya kreatif ini untuk kebutuhan ajang festival seni, tentu standart penilaian baik penyutradraan, keaktoran, keutuhan pementasan telah ditentukan. Disisi lain pendidikan aktor akan selesai jika ia telah mampu mengusai teknik teknik acting, ditambah pengetahuan tentang kebudayaan.

Ketika aktor terjun diatas panggung, mestinya ia dapat belajar tingkah laku kepada para seniornya, dengan cara meniru, mengilustrasikan anatara aksi raksi, memanfaatkan respon, cara menempatkan gelak dan tangis, melakukan simulasi emosi, dan juga pengalaman empiris dari seniornya, saya kira akan lebih kaya referensinya. Mengingat kekuatan penggarapan lakon ini terletak pada sastra drama, maka dialog dialog yang tersampaikan mesti menarik perhatian penonton. Apalagi Teater Tengku Mahkota kuat dengan pola penyajian gaya Drama Bangsawan. (***)