Puasa Tapi Tidak Sholat

oleh -992 views

PEKANBARU, Saturealita.com--Puasa Ramadhan memang selalu ditunggu kehadirannya oleh setiap umat Muslim di seluruh dunia. Mereka berharap, akan mendapatkan beribu kebaikan yang berlipat ganda ketika menjalankan setiap amalan ibadah di bulan suci tersebut. Namun, tak jarang manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT yang tak lepas oleh segala luputnya, sering kali lalai untuk menjalankan ibadah shalat wajib ketika di bulan Ramadhan

Fenomena bulan Ramadhan sering kita temui masjid selalu penuh di awal puasa. Namun, di pertengahan dan penghujung Ramadhan, masjid sepi dari aktivitas shalat kecuali mereka yang istiqamah Komisi Fatwa Kerajaan Saudi Arabia Al-Lajnah Ad-Da’imah li Al-Buhuts Al-‘Ilmiyyah wa Al-Ifta’ pernah ditanya tentang orang yang berpuasa tetapi meninggalkan salat. Seperti dikutip dari Rumaysho, “Apabila seseorang hanya di bulan Ramadhan semangat melakukan puasa dan salat, namun setelah Ramadhan berakhir dia meninggalkan salat, apakah puasanya di bulan Ramadhan diterima?”. Jawabannya adalah “Salat merupakan salah satu rukun Islam. Salat merupakan rukun Islam terpenting setelah dua kalimat syahadat. Dan hukum shalat adalah wajib bagi setiap individu. Barangsiapa meninggalkan salat karena menentang kewajibannya atau meninggalkannya karena menganggap remeh dan malas-malasan, ia kafir. Adapun orang yang melakukan puasa Ramadhan dan mengerjakan salat hanya di bulan Ramadhan saja, maka orang seperti ini berarti telah melecehkan agama Allah. Sebagian ulama salaf mengatakan, “Sejelek-jelek kaum adalah yang mengenal Allah atau rajin ibadah hanya pada bulan Ramadhan saja.”

Oleh karena itu, tidak sah puasa seseorang yang tidak melaksanakan salat di luar bulan Ramadhan. Bahkan orang seperti ini yang meninggalkan salat dinilai kafir dan telah melakukan kufur akbar, walaupun orang ini tidak menentang kewajiban salat. Orang seperti ini tetap dianggap kafir menurut pendapat ulama yang paling kuat.

Nabi SAW bersabda: “Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah mengenai shalat, barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.” (HR Ahmad, Abu Daud, At Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah). Nabi Muhammad SAW juga bersabda:  “Inti (pokok) segala perkara adalah Islam, tiangnya (penopangnya) adalah shalat, dan puncaknya adalah jihad di jalan Allah.” (HR. Tirmidzi dengan sanad shahih dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu)

“Pembatas antara seorang muslim dengan kekafiran dan kesyirikan adalah meninggalkan shalat.” (HR Muslim dari Jabir bin ‘Abdillah Al-Anshariy). (Sumber: Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah Li Al-Buhuts Al-‘Ilmiyyah wa Al-Ifta’, pertanyaan ke-3, Fatawa No 102, 10: 139-141)

Sementara itu, Ustaz Ahmad Sarwat Lc MA (Rumahfiqih.com) sebagaimana dilansir dari Rumah Aswaja menjelaskan, orang yang tidak mengerjakan ibadah wajib semisal shalat lima waktu, tidak ada kaitannya dengan diterima atau tidaknya puasa yang dia lakukan. Yang penting untuk dicatat bahwa dosa besarnya karena tidak salat itu tidak membatalkan puasa yang dilakukannya. Sebab keduanya tidak saling menghalangi.

Meninggalkan shalat tidak menghalangi sahnya puasa, sebagaimana tidak puasa juga tidak menghalangi sahnya shalat. Kalau pun ada hubungannya, nanti di akhirat saat hitung-hitungan amal baik dan amal buruk. Ada dosa karena meninggalkan salat dengan sengaja, tapi ada juga pahala karena mengerjakan puasa. Kesimpulannya, meski puasanya sah, tapi kalau meninggalkan salat tentu hukumnya berdosa besar. Dan hati-hati jangan sampai tekor pahala di hari akhirat nanti.

Dalil “orang yang tidak salat itu kafir”

Meski banyak dalil dari hadits-hadits nabawi terkait batas kafir karena meninggalkan salat, namun yang disepakati para ulama dalam hal ini ketika seseorang meninggalkan shalat sambil mengingkari kewajiban salat. Sedangkan kalau meninggalkan shalat tetepi masih meyakini kewajibannya, para ulama berbeda pendapat, apakah termasuk kafir atau tidak kafir.

Jumhur Ulama: Mengingkari Kewajiban

Jumhur ulama umumnya sepakat mengatakan berpendapat bahwa batas kafirnya adalah ketika seseorang meninggalkan shalat seraya mengingkari kewajiban salat lima waktu. Bukan sekadar meninggalkan shalat karena lalai atau malas. Dalam bahasa fiqih disebut dengan jahidu ash-shalah. Itupun tidak otomatis kafir, tetapi harus dilihat terlebih dahulu, apakah orang itu baru saja masuk Islam, atau dia tumbuh di lingkungan yang sama sekali jahil dari agama. Sehingga muncul di dalam pemahamannya bahwa shalat itu bukan sebuah kewajiban.

Untuk bisa sampai kepada status kafir, menurut jumhur ulama ada beberapa ketentuan, yaitu :

1.Mukallaf

Yang dimaksud dengan mukallaf adalah seseorang secara resmi memeluk agama Islam alias muslim, berakal, sudah baligh dan dalam keadaan dari udzur syar’i seperti haidh dan nifas.

2. Ingkar Kewajiban Shalat Lima Waktu

Yang menjadi titik kekafirannya adalah ketika dia mengingkari kewajiban shalat lima waktu di dalam agama Islam. Sebab salat merupakan pokok agama, bila diingkari maka gugurlah keislaman seseorang. Dalam hal ini bukan hanya shalat, tetapi ingkar kepada salah satu rukun Islam yang lainnya pun ikut menggugurkan keislaman.

3. Bukan Orang Yang Baru Masuk Islam

Para ulama sepakat bahwa bila yang ingkar atas kewajiban shalat itu ternyata orang yang baru saja masuk Islam, maka hal itu dimaklumi. Boleh jadi dia memang belum tahu ajaran Islam secara mendalam, sehingga keingkarannya bukan karena semata-mata menentang melainkan karena ketidaktahuan. Orang seperti ini tidak dikatakan sebagai kafir kalau meninggalkan shalat walaupun dalam hatinya mengatakan bahwa shalat tidak wajib.

4.Tumbuh di Tengah Masyarakat Non Islam

Bisa saja dalama kasus-kasus tertentu seseorang sudah menjadi muslim sejak lahir, namun dia tumbuh di tengah lingkungan keluarga atau masyarakat yang jahil dan tidak mengerti agama sama sekali.

 

Pendapat Para Ulama:

1. Ibnu Qudamah Al-Maqdisi (Wafat 620 Hijriyah) mewakili Mazhab Al-Hanbali menuliskan di dalam kitabnya Al-Mughni sebagai berikut: “Orang yang tidak shalat punya dua kemungkinan, yaitu dia mengingkari kewajibannya atau masih meyakini kewajibannya. Kalau dia mengingkari kewajibannya, diselidiki dulu, kalau dia jahil misalnya karena baru masuk Islam, atau dibesarkan di lingkungan terasing, maka diberitahu kewajibannya dan diajarkan tentang salat, dan tidak dikafirkan karena dia termasuk orang yang punya udzur.

Namun bila dia bukan orang yang jahil atas kewajiban shalat, misalnya dibesarkan di tengah orang Islam di kota atau desa, maka dia tidak punya alasan dan tidak diterima pengakuan bahwa dirinya tidak tahu kewajiban shalat, maka orang itu dihukumi kafir. Karena dalil-dalil kewajiban sudah nampak nyata di dalam kitab dan sunnah.

2. Syeikh Al-Utsaimin (Wafat 1421 Hijriyah) berpendapat meski seseorang tidak ingkar atas kewajiban shalat, apabila dia selalu meninggalkan salat sepanjang hidupnya, maka dia sudah bisa dianggap kafir. Kalau cuma beberapa kali tidak shalat dalam pandangan beliau tidak menjadi kafir. Tetapi kalau seumur-umur tidak pernah mengerjakan shalat lima waktu, barulah bisa disebut kafir.

3. Syeikh Bin Baz (wafat 1420 Hijriyah) berpendapat kafir karena sekali tidak shalat. Syeikh Bin Baz pernah menjadi mufti Kerajaan Saudi Arabia. Dalam kitabnya Nur ‘ala Ad-Darbi menuliskan sebagai berikut: “Dalil ini menunjukkan bahwa orang yang meninggalkan shalat itu disebut kafir dan disebut musyrik. Itulah yang benar dan yang makruf di kalangan sahabat radhiyallahunahum. Dan ini menunjukkan bahwa meninggalkan shalat itu di kalangan sahabat dianggap kafir akbar. Pelakunya adalah kafir dan musyrik. Dan pendapat ini yang lebih shahih di antara dua pendapat ulama yang mensyaratkan ingkar atas kewajibannya. Sedangkan ingkar atas kewajibannya memang kafir menurut semua pihak.”

Pendapat yang mengatakan bahwa puasa seseorang tidak sah kalau dia tidak shalat, kemungkinan dasarnya berasal dari fatwa Ibn Bazz ini. Dimana fatwa beliau menyebutkan sekali saja seorang muslim tidak shalat, maka dia jadi kafir. Dan kalau dia kafir maka tidak sah berpuasa.

Perlu dicatat, seandainya pendapat Ibn Baz ini kita pakai, dampaknya bukan cuma tidak sah puasa, tetapi ada banyak dampak besar lainnya. Misalnya, gugur amal sebelumnya karena dianggap murtad. Istrinya menjadi haram karena salah satu pasangan telah murtad. Kemudian haram menikah dengan siapa pun. Sebab, orang yang murtad itu statusnya tidak beragama. Wallahu a’lam bishshawab.(Md)