HALIMUN : POLITIK NAN KUDUS?

by -593 views
Yusniar Yusuf

Oleh : Yusmar Yusuf

Tangkaplah halimun dengan sebutir garam. Bak sihir dan cuca-cuca. Halimun jatuh kala malam. Dia berarak dalam formasi tirai, kelambu, dinding dan tembok. Membentengi, mengandang dan mengepung sesuatu yang tengah beredar: imajinasi, impian dan sensasi mengenai sesuatu yang mengelak, meloncat dan menerobos.

Kehidupan bak kelebat waktu yang beringsut. Ya, candra halimun berarak, membingkai malam yang sesak oleh serum ide, baksil yang menirus fase-fase hidup demi perubahan. Sejatinya gelung arakan halimun yang berjingkat dari dada bumi adalah ide perubahan itu sendiri. Terkadang kita kehilangan ruang dan orientasi tersebab halimun malam. Maka, cicipilah sebutir garam yang tergenggam: bak sihir. Demi memecah pekat malam yang tak berujung. Berpuluh tahun, hidup para jelata diselubungi malam berhias jelatang nan gatal. Kehabisan stok mimpi, kekeringan sumber mata air ide dan pingsan dialog. Para jelata bergelar oketai, terserang autisme akut, meniduri fase-fase monolog, cerutai ego ke tembok gagu.

Bertandang ke rumah paduka, bak mengadu ke ruang nganga. Paduka, tersarung ekstase liar dalam lorong monolog panjang yang tak berujung. Setakat memikul tugas demagogis, kebenaran demagogik, merejam dan menghumban batu demagogis untuk menyaru rakyat jelata, lalu membungkus diri dalam “remang seolah-olah”. Dulu, era 80-an ada penulis prolifik yang mempengaruhi jalan hidup saya dalam dunia tulis-menulis, menukil tajuk tulisan yang amat molek bersayap: “Seolah-olah Olahraga”. Lalu, selama satu dekade kita terperangkap menjalani kehidupan yang serba “seolah-olah”. Digarami lagi oleh pandemic Covid-19 tanpa ujung. Bak halimun malam, yang menekur diri dalam gulungan serba seolah-olah: seolah-olah tirai malam, seolah-olah kelambu malam, seolah-olah dinding malam, seolah-olah tembok malam. Halimun itu menjalani fase seolah-olah, fase bak, fase seakan-akan, fase arkian, fase “seperti”, tapi tak pernah menjadi.

Negeri yang para pemimpinnya piawai mengolah “dunia seolah-olah”, hanya berujung tawa sinis dan gelombang tindak warga serba sarkastik. Kita melembagakan adat menjadi “bangunan birokrasi” yang berbelit-belit, rumit dan berstruktur rigid bak jemari diserang asam urat. Padahal semua itu, tak lebih sebuah cara mematikan adat dan istiadat itu sendiri. Seakan aksesori politik yang bertembok adat, bertajuk mahkota nilai dan resam yang tak berdampak positif pada keputusan-keputusan adat yang intelejentif. Sebab, semua keputusan itu, terkepung nilai yang dikonstruksi berdasar nilai luhung dan kudus yang tak membumi. Luhung dan kudus itu sangkut di langit, sementara di bumi manusia diajak dan didorong dengan satu cogan besar: Mari Bergaul! Politik sejatinya adalah tentang seni ‘mari bergaul’. Freud, ujar Kristeva amat paham ihwal ini, pada prinsipnya masyarakat dan hukum “didirikan di atas kejahatan umum”. Yang nilai-nilainya, dikaitkan ke langit.

Kiat, singgit, seni bergaul pada arasy politik atas bumi, punya injab dan maqam berbeda. Ada yang menyodor kitab santun ala Melayu. Namun, kitab santun sesekali perlu dilipat dan digulung, ketika berdepan dengan tirai, kelambu halimun. Pun, pucuk adat tak perlu bertindak “sok arif” serba ‘jalan tengah’ yang tak mengenal garis tengah itu. Sesekali yang disebut ‘jalan tengah’ itu adalah sebuah ‘jalan ekstrem’. Ya, ekstrem bagi puak lain, kaum lain, bagi punat budaya lain, pucuk adat lain. Sejatinya, antara ‘jalan tengah’ dan gerak maksimal dalam tindak progresif yang difahami oleh Melayu demi merawat diri dan kampung halamannya adalah pilihan-pilihan cerdas yang senantiasa mengandung misteri dan tuah bagi tanah ini. Tak kan terjadi di tanah lain. Sebuah ‘revolusi pasif’ ala Gramsci?

Lihatlah politik sebagai sesuatu nan kudus. Ketika dilekat sebagai nan kudus, dia tidak untuk dieksploitasi, tetapi didatangi dengan keagungan teks. Sebagaimana bumi, selama ini dilihat hanya sebagai sumberdaya, tindak ikutannya adalah eksploitasi. Namun, ketika bumi dilihat sebagai sesuatu nan kudus, dia akan dirawat dengan teks besar untuk menjadi warisan kepada generasi sambung. Pun politik: Ketika dilihat sebagai nan kudus, dia akan dijadikan sebagai instrumen merawat kehidupan manusia dan semesta. Politik itu sendiri bersumber dari pilihan terhalus, dari lubuk hati nan halus. Maka, dalam satu rumah tangga, para ahli keluarga akan menjatuhkan pilihan-pilihan terkecil berbingkai hujah yang cerdas, menghunjam atau malah dangkal.

Apapun pilihan terhalus kita dalam dimensi politik publik yang mendorong seseorang untuk menjatuhkan pilihan, dia bukanlah arak-arakan halimun malam yang tak berekor, tak berujung dan tak kenal sudah. Halimun menjelaskan sesuatu gerak yang tak selesai. Pilihan politik adalah sebuah hujah yang selesai. Menjelang masuk dalam penyelesaian naratif berikutnya, seraya menggoda fase pertempuran yang tak pernah mengenal kata sudah dan tamat. Ibarat peperangan, hidup kita mengejar dan mengurai halimun, berlangsung dalam beberapa tahap tempur. Fasad-fasad tempur itu adalah serangkaian peperangan dalam kiat menjatuhkan pilihan. Kita senantiasa belajar dan mengajar kepada dunia tentang bagaimana memilih, bagaimana mewarnai, menghiasai kegiatan politik dengan resam budaya, resam yang tak berkelamin jantan atau betina, tetapi dengan sesuatu yang senantiasa menggoda untuk didatangi secara teks politik yang ranggi-kontekstual. Ketika menjatuhkan pilihan, kita harus bersiap dengan segala resiko pilihan itu. Bak halimun, pilihan-pilihan itu berarak, bergerak dan terkadang menjebak.

Kecerdasan apa yang hendak dipikul? Politik itu bukan persoalan satu opsi. Politik, sebagaimana kebudayaan adalah ruang dengan sejumlah opsi (pilihan ganda) yang bergerak secara progresif dan serba mudah mengungkai, alias serba terungkai dan mudah cair. Kuncinya? Asal didatangi dengan kebesaran teks dan pikiran yang terbuka. Ketika halimun menggulung, genggamilah sebutir garam! Agar kita tetap dalam satu kesadaran; kesadaran yang saling menguntungkan (***)