Biografi Cinta-cinta yang Mengambang

oleh -191 views
Pertunjukan Drama Klasik

PEKANBARU,Saturealita.comKisah klasik Bangsawan Melayu masa lampau tak lepas dari dendam, benci, amarah, perang dan cinta-cinta tak berbalas. Terkesan emosional. Bahkan cucuran keringat, air mata dan darah senantiasa melumuri singgasana raja-raja.

Bacalah Hikayat Hang Tuah, Megat Seri Rama, Sultan Mahmud Malaka, Johor, Riau-Lingga, Lancang Kuning dan sederetan kisah lainnya. Tak terkecuali kisah yang terukir dari seorang agung ternama Raja Kecil yang kalah dan berundur dari Johor ke Siak Sri Indrapura.

Kisah-kisah itu berkaitkelindan satu sama lain. Berbelit-belit, rumit dan sentiasa menerbitkan rasa penasaran bagi pekerja kreatif untuk menggali, menelaah dan menafsirnya seiring perjalanan waktu yang tak henti bergulir.

Ragam tafsir kisah-kisah klasik pun tertuang dalam kreasi karya seni seperti sastra, teater, tari, film, senirupa dan musik. Sederetan nama seniman yang menuang kisah klasik dalam bentuk karya sastra kontemporer antaralain; Tennas Effendi, Hasan Junus, Rida K Liamsi, Taufik Ikram Jamil, Dasri al Mubari dan SPN GP Ade Dharmawi dengan kumpulan naskah dramanya, “Peterakna”. Nama-nama yang kekinian semisal Hang Kafrawi, Marhalim Zaini, Fedli Azis, M Paradison, Rina NE dan lainnya.

Ada kisah Tengku Buntat dan Raja Djaffar (Bulang Cahaya-Rida K Liamsi), Panglima Hasan dan Zubaidah (Lancang Kuning-Tennas Effendi, Dasri al Mubari dan Rina NE) dan lainnya. Semua kisah klasik berbalut cinta yang mengambang itu, juga tertuang dalam kisah buah tangan almarhum GP Ade Dharmawi yang diangkat sutradara muda Muhammad Reza Akmal dengan judul, “Tengku Mahkota Seri Buantan” berlatar cerita Kemaharajaan Siak Sri Indrapura.

Pementasan Drama Klasik Bangsawan,
Produksi Rumah Budaya (RB) Tengku Mahkota berjudul, “Tengku Mahkota Seri Buantan” yang diubahsuai M Reza Akmal itu berlangsung, 25-26 November 2022 di Anjung Seni Idrus Tintin. Pola pemanggungan istanasentris tentu saja terdedah di depan mata ratusan audiens yang memadati gedung megah itu sepanjang dua malam berturut-turut.

Singgasana sultan dan ragam aksesorisnya cukup memanjakan mata penonton. Selain itu, kostum dan make up para pelakon juga turut menawarkan kesan “wah” ala bangsawan masa lalu. Tak tertinggal bebunyian alias musik yang digarap khusus dengan nyanyian ciptaan sendiri. Juga musik ilustrasi oleh para komposer dan musisi. Palingtidak itulah yang hendak dihajatkan pengkarya hingga audiens merasa pantas membeli tiket. (***)