TKA, Antara Cita-Cita dan Realita Masih Jauh

oleh
oleh

DALAM beberapa tahun terakhir, arah kebijakan pendidikan nasional di Indonesia mulai berfokus pada penguatan pembelajaran mendalam (deep learning) sebagai inti dari Kurikulum Merdeka. Pendekatan ini, bertujuan menumbuhkan kemampuan berpikir kritis, kreatif, kolaboratif, dan komunikatif pada peserta didik.

Melalui pembelajaran menekankan pemahaman konsep dan penerapan dalam konteks nyata, diharapkan siswa tidak lagi hanya berorientasi pada hasil akhir, tetapi juga pada proses berpikir dan pemecahan masalah. Namun demikian, realitas di lapangan menunjukkan bahwa sosialisasi dan penerapan pembelajaran mendalam belum merata, khususnya di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA).

Salah satu penyebab utama belum meratanya penerapan pembelajaran mendalam, kurangnya sosialisasi dan pendampingan intensif bagi pendidik. Banyak guru masih memahami konsep pembelajaran mendalam secara terbatas, bahkan sebagian masih mengajar dengan pendekatan konvensional berbasis ceramah dan latihan soal.

Ketika pelatihan atau sosialisasi diberikan, pelaksanaannya sering bersifat singkat dan belum menyentuh aspek praktis dalam mendesain modul ajar, proyek, atau asesmen autentik. Akibatnya, pembelajaran di kelas belum sepenuhnya bertransformasi menjadi kegiatan yang menantang daya nalar dan kreativitas siswa.

Di sisi lain, Tes Kompetensi Akademis (TKA) telah lebih dahulu diterapkan secara luas sebagai bentuk asesmen nasional yang mengukur kemampuan literasi, numerasi, dan penalaran logis siswa.

Idealnya, TKA menjadi instrumen evaluasi yang selaras dengan semangat pembelajaran mendalam, yakni menilai kemampuan berpikir tingkat tinggi (Higher Order Thinking Skills). Namun, penerapan TKA di tengah pembelajaran yang belum sepenuhnya berorientasi mendalam menimbulkan kesenjangan yang cukup nyata.

Bagi sebagian besar siswa, TKA dirasakan sulit dan menegangkan karena mereka belum terbiasa dengan soal-soal berbasis konteks dan penalaran. Hal ini diperparah oleh kebiasaan belajar yang masih berorientasi pada hafalan dan pencapaian nilai akhir.

Dalam situasi seperti ini, TKA justru berpotensi menjadi alat ukur yang tidak sepenuhnya adil karena tidak semua sekolah memiliki kesiapan yang sama baik dari segi sumber daya manusia, fasilitas pembelajaran, maupun budaya akademik.

Dari sisi kebijakan, kondisi ini menunjukkan bahwa implementasi asesmen lebih cepat dibanding pembenahan proses pembelajaran.

Pemerintah telah mendorong evaluasi berbasis kompetensi tinggi melalui TKA, tetapi dukungan sistemik terhadap pembelajaran mendalam belum sepenuhnya matang. Akibatnya, guru dan siswa menghadapi ketimpangan antara tuntutan asesmen dan kesiapan pembelajaran di kelas.

Untuk mengatasi ketidak seimbangan tersebut, diperlukan langkah strategis menyeluruh. Pertama, pemerintah dan lembaga pendidikan perlu memperluas program sosialisasi dan pelatihan berkelanjutan mengenai pembelajaran mendalam.

Guru tidak cukup hanya memahami teori, tetapi perlu difasilitasi dalam penerapan konkret seperti project based learning, inquiry learning dan penggunaan asesmen autentik.

Kedua, perlu dilakukan penyesuaian antara bentuk asesmen nasional dengan kondisi riil sekolah, misalnya melalui pengembangan asesmen formatif dan portofolio yang dapat melengkapi hasil TKA.

Ketiga, dibutuhkan pemerataan akses sumber daya dan pendampingan profesional bagi sekolah di daerah yang masih tertinggal agar mereka dapat menerapkan pendekatan pembelajaran yang setara.

Dengan langkah-langkah tersebut, penerapan pembelajaran mendalam diharapkan tidak hanya menjadi jargon kurikulum, melainkan benar-benar membentuk cara berpikir dan belajar siswa secara bermakna.

Jika sosialisasi dan implementasi dapat berjalan seiring dengan sistem asesmen yang relevan, maka Tes Kompetensi Akademis tidak lagi menjadi momok, melainkan cerminan sejati dari keberhasilan pembelajaran yang berpihak pada perkembangan kompetensi dan karakter peserta didik.

Penulis : Hardhina Rosmasita, Mahasiswi S2 Jurusan Pedagogi Universitas Muhammadiyah Malang