PEKANBARU,saturealita.com- Siapa tak kenal dengan nama lengkap, Aris Abeba putra Melayu kelahir Air Molek, kabupaten Indragiri Hulu 12 Maret tahun 1955, sekitar 69 tahun silam.
Beliau memang dikenal dengan sosok dan gaya fenomenal yang telah mengukir namanya dengan tinta emas dalam panggung seni dan budaya Melayu Riau.
Perjalanan hidupnya yang penuh warna menjadi inspirasi bagi banyak seniman muda di tanah Melayu. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar di kampung halamannya, Aris melangkahkan kaki ke Jawa Timur untuk menimba ilmu di Pondok Pesantren Gontor, Ponorogo.
Di sinilah benih-benih kecintaannya pada sastra dan drama mulai bersemi, bakatnya sebagai deklamator puisi dan pemain drama pun mulai terasah.
Tak berhenti sampai disitu, memandang kedepan, Aris melanjutkan pendidikannya di Fakultas Ushuluddin, IAIN Sultan Syarif Kasim (UIN Suska) Pekanbaru.
Lagi-lagi, semangat berkesenian semakin membara. Pada tahun 1974, di usia mudanya yang baru menginjak 19 tahun, Aris mendirikan sanggar Susqo dan menjadi salah satu pionir berdirinya Teater 74 di Pekanbaru.
Dua tahun berselang, ia bergabung dengan Teater Bhayangkara, dedikasi tak terbatas pada dunia panggun jelas terbukti nyata. Usai menyelesaikan pendidikan tingginya, Aris sempat mengabdi sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) RRI.
Nah, Namanya mulai melambung ketika ia dipercaya mengasuh siaran sastra di RRI Pekanbaru. Namun, jiwa seninya yang merdeka membuatnya memutuskan untuk melepaskan status PNS dan kembali terjun sepenuhnya dunia kesenian.
Aris Abeba bukan hanya seorang seniman panggung, tetapi juga penulis prolifik. Enam buku antologi puisi tunggal telah lahir dari tangannya, masing-masing menyuarakan keindahan dan keunikan budaya Melayu.
Karyanya yang monumental mencakup “ATAR 101” (1988), “Kota dan Tuah” (1989), “Padamu Habible” (1992), “Ombak Karimun” (1993), “Hentak” (1993), dan “Pengaduan di Kotak Pos 5000 (1997).
Kiprahnya tidak terbatas pada dunia sastra. Dengan visi yang tajam, Aris juga merambah dunia jurnalistik dengan mendirikan Tabloid Minda Serumpun, di mana ia menjabat sebagai Pimpinan Redaksi (Pemred-red).
Tahun 2000 menjadi titik balik dalam karir Aris Abeba. Bergabung dengan PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) V, ia mendirikan Dewan Kesenian PTPN V Melalui wadah ini, Aris membawa misi kebudayaan Melayu Riau ke panggung Internasional.
Dari Malaysia hingga Meksiko, dari Singapura hingga Spanyol, Aris Abeba menjadi duta budaya memperkenalkan keindahan seni Melayu di mata dunia.
Puncak karinya sebagai duta budaya terjadi pada tahun 2017, ketika la memimpin rombongan seniman, budayawan, dan pelaku bisnis Riau untuk tampil di Vaduz, Liechtenstein.
Di kaki pegunungan Alpen yang megah, suara Aris menggemakan puisi-puisi Melayu, membuktikan bahwa seni dan budaya Riau mampu bersanding dengan keagungan alam Eropa
Di usianya yang kini menginjak 70 tahun, semangat Aris Abeba tak pemah surut. Melalui Komunitas Seni dan Budaya Panggung Toktan yang la dirikan, Aris terus berjuang mewujudkan mimpi besarnya menjadikan Riau sebagai rumah singgah bagi pelaku seni dan budaya, baik nasional maupun internasional.
Aris Abeba bukan sekadar seniman, la adalah ikon, inspirator, dan visioner yang telah mengabdikan hidupnya untuk mengangkat harkat dan martabat seni budaya Melayu Riau ke panggung dunia.
Kisahnya adalah bukti nyata bahwa dengan dedikasi dan passion, seorang anak Melayu mampu membawa warisan budayanya mendunia, sekaligus menjembatani tradisi dengan modernitas dalam lantunan puisi yang memukau dan pertunjukan seni yang menginspirasi.
Dari goresan singkat perjalan yang dilalui Aris Abeba, dibulan yang sama dirinya kembali menerima Anugrah Budaya 2024 oleh Pemerintahan Provinsi Riau, melalui Dinas Kebudaya Riau dan menerima bantuan dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Banpem) Tahun 2024 Periode II.
“Saya ucapkan rasa syukuri, walaupun tak menyangka Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Banpem) Tahun 2024 Periode II Jakarta. Sama halnya pemberian Anugrah Abdi Budaya kemarin”, katanya, Kamis, (29/8/2024) saat bual-bual dirumahnya dikediamannya Harmonis Nomor 5 Hangtuah Ujung Pekanbaru.
Menyambung hal tersebut, pemberian anugerah atau bantuan dalam aktivitas kebudayaan lewat seniman atau sastrawan untuk berkarya.
Ia mengigatkan, pemberian hadiah dalam bentuk penghargaan jasa, bukan menjadi yang paling utama, akan tetapi intinya berbuatlah dengan keikhlasan, niscaya Allah SWT dengan sendirinya memberikan kebaikan itu sesuai dengan porsinya.
Pengakuan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Banpem) memilih tidak semudah membalik telapak tangan. Sebab melalui proses panjang dan pengamatan secara steril baru dapat diverifikasi lalu dilakukan penilaian kongrit layak atau tidaknya untuk diberikan.
“Itu yang saya katakan, terus berbuatlah selagi masih dalam lingkaran berkarya dalam seni dan budaya dengan kata, bukan mencari kerja, tapi kerja mencari kita”, tutupnya. (***)